Jumat, 11 September 2009

Shalat Tarawih

Shalat Tarawih dan Jumlah Raka’atnya


Shalat Tarawih hukumnya sangat disunnahkan (sunnah muakkadah), lebih utama berjama'ah. Demikian pendapat masyhur yang disampaikann oleh para sahabat dan ulama.

Ada beberapa pendapat tentang raka’at shalat Tarawih; ada pendapat yang mengatakan bahwa shalat tarawih ini tidak ada batasan bilangannya, yaitu boleh dikerjakan dengan 20 (dua puluh) raka'at, 8 (delapan), atau 36 (tiga puluh enam) raka'at; ada pula yang mengatakan 8 raka’at; 20 raka’at; dan ada pula yang mengatakan 36 raka’at.

Pangkal perbedaan awal dalam masalah jumlah raka’at shalat Tarawih adalah pada sebuah pertanyaan mendasar. Yaitu apakah shalat Tarawih itu sama dengan shalat malam atau keduanya adalah jenis shalat sendiri-sendiri? Mereka yang menganggap keduanya adalah sama, biasanya akan mengatakan bahwa jumlah bilangan shalat Tawarih dan Witir itu 11 raka’at.

Dalam wacana mereka, di malam-malam Ramadhan, namanya menjadi Tarawih dan di luar malam-malam Ramadhan namanya menjadi shalat malam / qiyamullail. Dasar mereka adalah hadits Nabi SAW:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَغَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً. رواه النسائي

”Dari Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menambah di dalam ramadhan dan di luar Ramadhan dari 11 rakaat”. (HR. Al-Bukhari)

Sedangkan mereka yang membedakan antara keduanya (shalat malam dan shalat tarawih), akan cenderung mengatakan bahwa shalat Tarawih itu menjadi 36 raka’at karena mengikuti ijtihad Khalifah Umar bin ’Abdul Aziz yang ingin menyamai pahala shalat Tarawih Ahli Makkah yang menyelingi setiap empat raka’at dengan ibadah Thawaf.

Lalu Umar bin ’Abdul Aziz menambah raka’at shalat Tarawih menjadi 36 raka’at bagi orang di luar kota Makkah agar menyamahi pahala Tarawih ahli makkah; Atau shalat Tarawih 20 raka’at dan Witir 3 raka’at menjadi 23 raka’at. Sebab 11 rakaat itu adalah jumlah bilangan rakaat shalat malamnya Rasulullah saw bersama sahabat dan setelah itu Beliau menyempurnakan shalat malam di rumahnya. Sebagaimana Hadits Nabi SAW.:

أَنَّهُ صلّى الله عليه وسلّم خَرَجَ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ لَيَالِيْ مِنْ رَمَضَانَ وَهِيَ ثَلاَثُ مُتَفَرِّّقَةٍ: لَيْلَةُ الثَالِثِ, وَالخَامِسِ, وَالسَّابِعِ وَالعِشْرِيْنَ, وَصَلَّى فِيْ المَسْجِدِ, وَصَلَّّى النَّاسُ بِصَلاَتِهِ فِيْهَا, وَكَانَ يُصَلِّّْي بِهِمْ ثَمَانِ رَكَعَاتٍ, وَيُكَمِّلُوْنَ بَاقِيْهَا فِيْ بُيُوْتِهِمْ. رواه الشيخان

“Rasulullah SAW keluar untuk shalat malam di bulan Ramadlan sebanyak tiga tahap: malam ketiga, kelima dan kedua puluh tujuh untuk shalat bersama umat di masjid, Rasulullah saw. shalat delapan raka’at, dan kemudian mereka menyempurnakan sisa shalatnya di rumah masing-masing. (HR Bukhari dan Muslim).

Sedangkan menurut ulama lain yang mendukung jumlah 20 raka’at, jumlah 11 raka’at yang dilakukan oleh Rasulullah SAW tidak bisa dijadikan dasar tentang jumlah raka’at shalat Tarawih. Karena shalat Tarawih tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw kecuali hanya 2 atau 3 kali saja. Dan itu pun dilakukan di masjid, bukan di rumah.

Bagaimana mungkin Aisyah RA meriwayatkan hadits tentang shalat Tarawih Nabi SAW? Lagi pula, istilah shalat Tarawih juga belum dikenal di masa Nabi SAW. Shalat tarawih bermula pada masa Umar bin Khattab RA karena pada bulan Ramadlan orang berbeda-beda, sebagian ada yang shalat dan ada yang tidak shalat, maka Umar menyuruh agar umat Islam berjamaah di masjid dengan imamnya Ubay bin Ka'b.

Itulah yang kemudian populer dengan sebutan shalat tarawih, artinya istirahat, karena mereka melakukan istirahat setiap selesai melakukan shalat 4 raka’at dengan dua salam. Dan Umar RA. berkata: "Inilah sebaik-baik bid’ah".

Bagi para ulama pendukung shalat Tarawih 20 raka’at+witir 3= 23, apa yang disebutkan oleh Aisyah bukanlah jumlah raka’at shalat Tarawih melainkan shalat malam (qiyamullail) yang dilakukan di dalam rumah beliau sendiri. Apalagi dalam riwayat yang lain, hadits itu secara tegas menyebutkan bahwa itu adalah jumlah raka’at shalat malam Nabi SAW., baik di dalam bulan Ramadhan dan juga di luar bulan Ramadhan.

Ijtihad Umar bin Khoththab RA tidak mungkin mengada-ada tanpa ada dasar pijakan pendapat dari Rasulullah saw, karena para sahabat semuanya sepakat dan mengerjakan 20 raka’at (ijma’ ash-shahabat as-sukuti).

Di samping itu, Rasulullah menegaskan bahwa Posisi Sahabat Nabi SAW sangat agung yang harus diikuti oleh umat Islam sebagaimana dalam Hadits Nabi SAW:

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّّتِيْ, وَسُنَّةِ الخُلَفَآءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ

"Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa' al-Rasyidun sesudah aku ". (Musnad Ahmad bin Hanbal).

Ulama Syafi’ayah, di antaranya Imam Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al Malibari dalam kitab Fathul Mu’in menyimpulkan bahwa shalat Tarawhi hukumnya sunnah yang jumlahnya 20 raka’at:

وَصَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ سنة مُؤَكَّدَةٌ وَهِيَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْماَتٍ فِيْ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ لِخَبَرٍ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَيَجِبُ التَّسْلِيْمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا مِنْهَا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ تَصِحَّ .

“Shalat Tarawih hukumnya sunnah, 20- raka’at dan 10 salam pada setiap malam di bulan Ramadlan. Karena ada hadits: Barangsiapa Melaksanakan (shalat Tarawih) di malam Ramadlan dengan iman dan mengharap pahala, maka dosanya yang terdahullu diampuni. Setiap dua raka’at haru salam. Jika shalat Tarawih 4 raka’at dengan satu kali salam maka hukumnya tidak sah……”. (Zainuddin al Malibari, Fathul Mu’in, Bairut: Dar al Fikr, juz I, h. 360).

Pada kesimpilannya, bahwa pendapat yang unggul tentang jumlah raka’at shalat tarawih adalah 20 raka’at + raka’at witir jumlahnya 23 raka’at. Akan tetapi jika ada yang melaksanakan shalat tarawih 8 raka’at + 3 withir jumlahnya 11 raka’at tidak berarti menyalahi Islam. Sebab perbedaan ini hanya masalah furu’iyyah bukan masalah aqidah tidak perla dipertentangkan. Wallahu a’lam bi al-shawab.


HM Cholil Nafis MA
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU

www.nu.or.id

Fasal Tentang Lailatul Qadar (1)

Sudah sering kita dengar istilah Lailatul Qadar, bahkan selalu lekat dalam ingatan. Namun demikian, nyatanya kita tidak akan pernah mengenal hakikat Lailatul Qadar itu sendiri, lantaran masalahnya amat ghaib. Pengetahuan kita terbatas hanya pada apa yang telah ditunjukkan di dalam berbagai nash, baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah serta interpretasinya.

Secara etimologis, “lailah” artinya malam, dan “al-qadar” artinya takdir atau kekuasaan. Adapun secara terminologis, dapat kita coba dengan cara mengamati ayat berikut ini :

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malm kemuliaan (Lailatul Qadar)” (QS Al-Qadar (97):1)


Dari pernyataan bahwa Al-Qur’an tersebut diturunkan pada saat Lailatul Qadar, dapat kita tangkap pengertian, yakni; pertama , Lailatul Qadar merupakan dari suatu malam, saat diturunkan Al-Qur’an secara keseluruhan. Walhasil, Lailatul Qadar itu terjadi hanya satu kali, tidak sebelum dan sesudahnya. Akan tetapi keagungan dan keutamaannya itu diabadikan oleh Allah SWT untuk tahun-tahun berikutnya. Tegasnya, Lailatul Qadar yang ada sekarang ini, hanyalah semacam hari peringatan yang memiliki berbagai keistimewaan yang sangat luar biasa.

Kedua, Lailatul Qadar merupakan sebutan dari suatu malam pada setiap bulan Ramadhan, yang dahulu kala pernah bersamaan dengan peristiwa diturunkannya Al Qur’an secara keseluruhan.

Kedua pengertian tersebut di atas, merupakan hasil analisa yang boleh jadi dapat diterima oleh semua pihak, lantaran sama sekali tidak mengingkari keutamaan Lailatul Qadar. Sedangkan hakikatnya hanyalah Allah SWT yang mengetahui. Sementara lailatul Qadar itu sendiri, dalam sebuah ayat dinyatakan sebagai Lailah Mubarakah (ةalam kebaikan).

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ

“Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi.”(Q.S Ad Dukhaan (44):3)

Dalam masalah ini, para Muffasir menjelaskan bahwa Lailatul Qadar itu adalah saat diturunkannya Al-Qur’an secara keseluruhan dari Lauhul Mahfuzhke Baitul’Izzah, sebelum diwahyukan kepada Rasulullah SAW secara berangsur. Olah sebab itu, tidaklah dapat disamakan antara Lailatul Qadar dengan Nuzulul Qur’an atau turunnya ayat pertama Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW.

Betapa mulia dan begitu istimewanya Lailatul qadar itu, sebagai rahmat dan nikmat Allah SWY bagi seluruh ummat Muhammad. Sehingga tak satupun dari kita yang tak suka jika mampu meraihnya. Dan wajar pula, jika malam jatuhnya Lailatul Qadar itupun selau dipertanyakan, bahkan nyaris selalu menimbulkan perselisihan pendapat.

Kapan Lailatul Qadar?

Menurut suatu pendapat ; Lailatul Qadar itu jatuh pada malam ke 27 setiap bulan Ramadhan. Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW:

مَنْ كَانَ مُتَحَرِّيْهَا، فَلْيَتَحَرِّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ

“Siapapaun mengintainya maka hendaklah mengntainya pada malam ke dua puluh tujuh.” (HR. Ahmad dari Ibnu ‘Umar)

Sementara menurut pendapat yang lain; perintah Rasulullah SAW untuk mengintai pada malam ke 27 itu, bukan merupakan suatu kepastian bahwa Lailatul Qadar akan terjadi pada malam itu. Akan tetapi hanya sebagai petunjuk, bahwa pada malam itu memang kemungkinan besar akan terjadi. Terbukti dengan permyataan Rasulullah SAW sendiri dalam hadist yang lain.

أخْبَرَنَا رسول الله صلى الله عليه و سلم عن لَيْلَةِ الْقَدْرِقال : هي في رمضان في العشر الأواخر ، في إحدى و عشرين أو ثلاث و عشرين أو خمس و عشرين أو سبع و عشرين أو تسع و عشرين أو في آخِرِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ

“Rasulullah SAW telah memberitakan kepadaku tentang Lailatul Qadar. Beliau bersabda: “Lailatul Qadar terjadi pada Ramadhan; dalam sepuluh hari terakhir. Malam dua puluh satu, dua puluh tiga, dua puluh lima, dua puluh tujuh, dua puluh sembilan atau ,malam terakhir.”

Adapun yang dimaksud dengan malam terakhir dalam hadts di atas, tentunya jika sebulan Ramadhan itu hanya 29 hari. Sehingga malam yang ke 29 otomatis merupakan malam terakhir.

Dengan demikian, menurut kami pendapat yang kedua ini jauh lebih dasarnya ketimbang pendapat pertama. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa; jatuhnya Lailatul Qadar itu sama sekali tak dapat ditentukan secara pasti. Lantaran perupakan rahasia Allah SWT.

Lailatul Qadar yang agung itu—sebagaimana jawaban terdahulu sangantlah ghaib malam jatuhnya. Namun demikian, Rasulullah SAW telah memberi petunjuk kepada ummatnya bahwa jatuhnya itu di antara malam-malam ganjil pada sepuluh hari Ramadhan terakhir. Maka tidak mustahil, jika diantara hari-hari itu setiap tahunnya akan berubah-ubah, sebagaimana dapat dicerna pula dari berbagai hadits yang berbeda-beda penjelasannya.

Kemungkinan berubah-ubah tersebut, jika dimaksudkan bahwa Lailatul Qadar itu merupakan sebutan dari suatu malam pada setiap bulan Ramadhan yang dahulu kala pernah bersamaan dengan peristiwa diturunkannya Al-Qur’an secara keseluruhan. Adapun jika dimaksudkan bahwa, Lailatul Qadar hanya semacam hari peringatan, maka tidak mungkin jatuhnya Lailatul Qadar itu akan berubah, bahkan sampai kiamat nanti.

Selain itu, nampaknya perlu kita sadari pula, bahwa tidak adanya kepastian pada malam tertentu tentang jatuhnya Lailatul Qadar ini, justru banyak membawa hikmah yang antara lain, untuk mandapatkan keutamaan dan berkah dari saat turunnya Lailatul Qadar itu, kaum Muslimin tidak hanya dengan bertekun ibadah semalam saja. Akan tetapi harus selama 10 malam terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW beserta keluarganya.


KH Arwani Faishal
Wakil Ketua PP Lembaga Bahtsul Masa’il NU

www.nu.or.id

Ulama NU Belum Satu Kata tentang Bank Syariah

HALAQAH PRA MUKTAMAR
Ulama NU Belum Satu Kata tentang Bank Syariah


Jakarta, NU Online

Para ulama Nahdlatul Ulama (NU) rupanya belum satu kata atau belum memiliki kesamaan pendapat tentang keberadaan bank syariah. Pasalnya, di dalam praktiknya, lembaga keuangan berbasis sistem syariat Islam itu ternyata juga banyak mengalami masalah.

Perbedaan pendapat itu mengemuka dalam Halaqah Pra-Muktamar ke-32 NU Komisi Maudlu’iyah Waqi’iyah yang diikuti utusan pengurus wilayah NU se-Indonesia serta pengurus lembaga, lajnah dan badan otonom NU, di Hotel Bintang, Jakarta, Selasa (18/8).

Wakil Ketua Lembaga Takmirul Masajid Indonesia (LTMI NU), Mukhlas Syarkun, menilai, dalam beberapa kasus, bank syariah ternyata tak ada bedanya dengan bank konvensional. Ia menyebut ada “pelanggaran syariah dalam praktik bank syariah”.

Mukhlas menjelaskan, bank syariah memang tidak mengenal bunga (riba). Namun, dalam praktik pemberian kredit, misalnya, diberlakukan sistem agunan. Sementara, tidak semua orang, terutama kaum miskin, yang dapat memberikan agunan untuk mendapatkan kredit.

“Di sinilah bank syariah bisa disebut tidak syar’i (bertentangan dengan syariat Islam) karena hanya orang-orang yang dapat memberikan jaminan (agunan) yang dapat menerima kredit. Sedangkan orang yang sangat miskin, tidak punya apa-apa, tidak bisa memberikan jaminan, tidak bisa menerima kredit,” terang Mukhlas.

Ia justru mengaku lebih sependapat dengan konsep Grameen Bank di Bangladesh yang dikembangkan Muhammad Yunus. Lembaga keuangan Grameen Bank mengembangkan konsep kredit mikro, yaitu pengembangan pinjaman skala kecil untuk usahawan miskin yang tidak mampu meminjam dari bank umum.

Grameen Bank berbeda dengan bank konvensional karena tidak menggunakan system jaminan. Untuk menjamin pembayaran utang, Grameen Bank menggunakan sistem "kelompok solidaritas". Kelompok-kelompok itu mengajukan permohonan pinjaman bersama-sama, dan setiap anggotanya berfungsi sebagai penjamin anggota lainnya, sehingga mereka dapat berkembang bersama-sama.

“Konsep bank seperti ini, menurut saya, lebih syar’i (sesuai syariat Islam) daripada bank syariah sendiri, karena dapat mengangkat (membantu) perekonomian masyarakat miskin yang paling miskin sekalipun,” jelas Mukhlas.

Pendapat berbeda dikemukakan Rais Syuriyah Pengurus Besar NU yang juga Ketua Komisi Maudlu’iyah Waqi’iyah itu, KH Masyhuri Naim. Menurutnya, secara umum, bank syariah tidak bertentangan dengan syariat Islam. Salah satu alasannya, kata dia, tidak adanya bunga bank yang memang diharamkan dalam Islam.

“Hanya, dalam praktiknya memang tidak sepenuhnya baik seperti dalam teorinya sendiri. Tapi, itu wajar saja. Kita (ulama NU) bukan tidak setuju dengan bank syariah. Kita hanya mengkritik kelemahan-kelemahan yang ada dalam praktik bank syariah itu sendiri,” jelas Kiai Masyhuri—begitu panggilan akrabnya.

Karena itu, imbuh Kiai Masyhuri, beragam persoalan seputar perekonomian dan perbankan syariah yang mengemuka dalam halaqah tersebut akan dibahas dan dikaji lebih mendalam pada Muktamar di Makassar, Sulawesi Selatan, Januari 2010 mendatang. (rif)

HALAQAH PRA MUKTAMAR

Jabatan Ketua Umum Badan Otonom Diusulkan Cukup Sekali

Jakarta, NU Online


Salah satu permasalahan yang mengemuka dalam halaqah pra muktamar bidang organisasi, Selasa (18/8) di Jakarta, adalah keinginan untuk mengatur batasan umur dan masa jabatan ketua umum badan otonom NU, khususnya yang bergerak di bidang pengkaderan, yaitu IPNU, IPPNU, GP Ansor dan Fatayat NU.

Sebagai misal, GP Ansor yang usianya sudah lebih dari 50 tahun ini, Ansor baru memiliki ketua umum sebanyak tujuh orang, sebuah proses regenerasi yang lambat. Hal yang sama juga terjadi di tingkat cabang, yang mana seorang ketua cabang baru menduduki posisisnya dengan usia diatas 40 tahun.

Fatayat NU dalam kongres terakhirnya pada tahun 2005 malah menambah batasan usia maksimal menjadi 45 tahun untuk pengurusnya sehingga selesai masa bakti sudah mendekati umur 50 tahun.

Malik Haramain, sekjen GP Ansor mengusulkan agar masa jabatan ketua umum empat badan otonom pengkaderan ini dibatasi selama satu kali saja untuk mempercepat proses pengkaderan.

Sementara itu, Khofifah Indar Parawansa, ketua umum PP Muslimat NU meminta pembatasan usia GP Ansor dan Fatayat NU disesuaikan dengan UU Kepemudaan, yang sekarang ini masih dalam pembahasan di DPR RI. Dari berbagai usulan yang ada dalam RUU itu, usia batasan maksimal organisasi kepemudaan adalah 30-40 tahun. Jika mengambil rentang maksimal, maka batasan usia pengurus badan otonom itu adalah 40 tahun.

Untuk IPNU dan IPPNU, saat ini batasan usia yang dipakai disepakati 30 tahun dengan alas an, pengurus pusat tidak mungkin masih dalam tingkat pelajar menengah, sekaligus untuk member ruang kepada para mahasiswa agar bisa masuk dalam IPNU/IPPNU.

Untuk masa jabatan ketua umum, saat ini IPNU/IPPNU sudah mengatur masa jabatan hanya satu kali dengan periode kepengurusan tiga tahun untuk tingkat pengurus pusat.

Muslimat NU malah diusulkan menggunakan batas keanggotaan minimal, bukan maksimal karena keanggotaannya adalah para ibu-ibu yang sudah menikah atau sudah menginjak usia tertentu. (mkf)

UU KEPEMUDAAN part II

Ansor Sulit Sesuaikan Batasan Umur
Jumat, 11 September 2009 16:34
Jakarta, NU Online

Kesepakatan batasan usia 16-30 dengan masa peralihan 4 tahun dalam UU Kepemudaan menjadi persoalan tersendiri bagi badan otonom NU yang mengkategorikan diri sebagai organisasi pemuda.

Sekjen GP Ansor Malik Haramain mengatakan Ansor tidak bisa mengikuti batasan umur itu jika maksimal usianya 30 tahun karena hal ini sama dengan batasan usia IPNU sebagai organisasi kader NU.

“Harus ada toleransi batasan usia dalam UU tersebut. Batasan umur penting, tetapi jangan menganggu aturan main organiasi yang memiliki batasan usia sendiri yang berbeda dengan yang lainnya. Penting tapi tidak prinsip,” katanya kepada NU Online, Jum’at (11/9).

Saat ini batasan umur untuk menjadi pengurus GP Ansor 40 tahun. Sejumlah ormas kepemudaan lain seperti KNPI juga memiliki batasan usia sekitar itu sehingga keberadaan UU ini akan menjadi perubahan signifikan jika diberlakukan.

UU Kepemudaan ini baru pertama kali dibuat di Indonesia. Sebelumnya, pembinaan terhadap kaum muda sebelumnya hanya mengacu pada UU Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

Dalam kesempatan lain, Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno mengakui bahwa dewasa ini masih banyak ditemukan warga berusia di atas 40 tahun yang memimpin organisasi pemuda.

"Adanya UU Kepemudaan yang mengatur secara rinci potensi dan pengembangan kepemudaan, akan mampu memaksimalkan peran dan fungsi pemuda dalam berbagai aspek kehidupan," ujar Irwan. (mkf)

UU KEPEMUDAAN

Bagdja: PBNU akan Sesuaikan Batas Usia Pengurus Banom
Jumat, 11 September 2009 17:35
Jakarta, NU Online

Ketua PBNU H Ahmad Bagdja menyatakan pengesahan RUU Kepemudaan yang salah satunya mengatur batasan kategori usia pemuda antara 16-30 tahun dengan masa tenggang 4 tahum akan memudahkan PBNU melakukan pengaturan kepengurusan badan otonom.

“Memang lama dikandung niatbadan otonom yang mengharuskan ada batasan umur seperti IPNU, Ansor, dan Fatayat. Saya kira harus disesuaikan,” katanya kepada NU Online, Jum’at (11/9).

Keberadaan UU ini akan membantu memberi panduan kepada organisasi kepemudaan di NU karena selama jika tidak ada batasan umur dalam perundang-undangan nasional, aturan umur seringkali dirubah-rubah untuk kepentingan calon pengurus agar tetap bisa berkiprah di organisasi itu.

“Para aktifis akan terseleksi dengan sendirinya, meskipun punya keinginan, tetapi jika usianya lewat, akan tahu dengan sendirinya. Akan ada peluang bagi mereka yang berusia 25-27, ini saya kira bagus,” ujarnya.

Mantan Ketua PB PMII ini menyatakan perlunya masa transisi agar proses pergantian kepengurusan yang baru berjalan lancer dan bisa menyesuaikan diri dengan UU Kepemudaan itu.

“Penyesuainnya bagaimana, ya mungkin bertahap. Bagi yang masih pengurus tak masalah, nanti kalau ada konferensi dan pemilihan baru harus menyesuaikan dengan aturan baru ini,” tandasnya.

Mengenai penjenjangan pengurus antara IPNU/IPPNU dan GP Ansor/Fatayat NU, periode kepengurusan di IPNU dibuat lebih pendek sehingga terjadi proses regenerasi yang cepat.

“Prinsipnya dalam organisasi pengkaderan adalah pelatihan kepemimpinan, jadi periodenya nga terlalu lama, 2 tahun cukup, kalau mekanisme ini diambil proses kaderisasi bisa lebih cepat dan tidak sampai bertumpuk diatas,” terangnya.

Tersumbatnya upaya kaderisasi dalam sebuah organisasi akan berdampak buruk karena mereka yang tak tersalurkan bisa melakukan protes dan ketidakpuasan dengan cara yang negatif. “Mereka yang usianya diatas 30 tahun bisa memilih di jalur politik atau yang lain,” tegasnya. (mkf)

Kamis, 27 Agustus 2009

NU Tak Pernah Tertarik Gagasan Khilafah Islamiyah

DIALOG PESANTREN
NU Tak Pernah Tertarik Gagasan Khilafah Islamiyah
Senin, 13 Juli 2009 08:04

Jombang, NU Online
NU tidak pernah tertarik dengan gagasan kekhalifahan Islam atau khilafah Islamiyah. NU justru menegaskan negara nasional, dengan Pancasila dan NKRI sebagai bentuk final yang sah dan mengikat seluruh warga negara, termasuk umat Islam.

Demikian dikatakan peneliti gerakan Islam radikal M Kholid Syeirazi dalam Dialog Pondok Pesantren se-Jawa Timur di Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang, Sabtu (11/9) kemarin.

Dikatakannya, NU tidak terobsesi dengan Arabisasi dan internasionalisasi Islam. NU mewarisi gerakan dakwah Walisongo yang sejak awal adaptif terhadap budaya lokal. Gerakan NU menjalankan substansialisasi Islam, tidak memerangi bentuk tetapi menyusupkan isi.

“Sintesis kreatif ini secara baik ditunjukkan oleh model dakwah Sunan Kalijaga, yang menjelma dalam istilah-istilah kejawen tetapi sebenarnya berisi Islam, seperti Sekaten, Dalang, jimat Kalimosodo,” katanya seperti dilaporkan kontributor NU Online Wahib Putra Pamungkas.

Islam ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) ala NU, kata Kholid, merupakan harapan kebangkitan Islam dunia. Dalam hal ini, pesantren sebagai pusat pengajaran Islam Aswaja ala NU harus dapat menopang basis material dan intelektual Aswaja sebagai paham dan gerakan.

Pembicara lainnya dalam sesi dialog bertajuk Peran Strategis Pesantren Dalam Menghadapi Penetrasi Aliran dari Luar Aswaja, Idrus Ramli, mengungkapkan adanya perebutan makna Aswaja. Penulis buku Madzhab Asy’ari Benarkah Aswaja, Jawaban Terhadap Aliran Salafi ini menyatakan, konsep Aswaja saat ini juga diklaim oleh kelompok Salafi Wahabi.

“Kalau kita coba pergi ke toko-toko buku kebanyakan buku mengenai Ahulussunnah yang kita temukan adalah yang tulisan Wahabi,” katanya.

Ditambahkan masifnya serbuan gerakan Wahabisasi secara internasional tidak terlepas dari besarnya dukungan finansial yang menurut informasi mencapai tujuh ratus trilyun rupiah.

Di bagian akhir, KH Aziz Masyhuri dalam kesempatan itu mengingatkan pentingnya pendidikan Aswaja sejak dini. Pendidikan merupakan salah satu strategi bagi pesantren untuk membekali para santri sekaligus menjawab tantangan dari luar yang semakin ketat.

Kiai Aziz menyatakan, pesantren dan NU tidak cukup hanya mengkritik keberadaan faham di luar Aswaja, namun juga harus melakukan introspeksi terkait pengajaran Aswaja di lingkungan pesantren dan madrasah. "Kita tidak cukup mengkritik saja, tapi juga harus melakukan introspeksi diri,” katanya. (yus/nam)

courtessy : www.nu.or.id